Minggu, 09 Februari 2025

Selat Gonzalu Mistis Tapi Menawan

 Selat antara Adonara dan Larantuka disebut selat Gonsalu karena pernah menenggelamkan sebuah kapal milik portugis yang bernama Gonsalu. Kecepatan arusnya mencapai 7 M / second. Selain kapal portugis, masih banyak cerita angker yang di dapat dari selat ini, terakhir saat prosesi laut menghantar tuan meninu, sebuah tradisi masyarakat Larantuka saat Semana Santa. Sebuah kapal ikan yang ditumpangi pesiarah tenggelam. Dibalik cerita mistisnya, Selat Gonzalu rupanya memberi kesan keindahan yang luar biasa. Pantainya yang sejuk, pergerakan arusnya yang seksi dan hampir setiap saat terjadi pergerakan kapal dan perahu melintasi selat ini. Berikut liputan foto-foto kami :


Mandi di Tepi Selat Gonsalu sambil menikmati kapal-kapal penumpang (SIRIMAU) menyusuri selat ini. model : ivan


Anda bisa menikmati mandi di tepi selat Gonzalu sambil membaca !!! model : ivan

Tampak perahu nelayan berlayar mendekati Kapal Sirimau. Pulau di seberang yakni Pulau Adonara terlihat nyata dan sangat dekat dengan Larantuka


Seolah berada di Kolam Alam saat mandi di tepi selat Gonzalu. model : ruddy/ivan

Seolah berada di Kolam Alam saat mandi di tepi selat Gonzalu. model : bagus/ivan


LEWOTANAH DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ADAT DI FLORES TIMUR DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBUATAN PERBUP DAN PERDES

 


 Oleh:
Dr. Eduardus Bayo Sili, S.H.,M.Hum


I.   PENDAHULUAN

Perbincangan tentang konsep dan makna lewotanah, bagi masyarakat Flores Timur atau lamaholot adalah sebuah diskusi yang sangat aktual. Dikatakan demikian karena bagi masyarakat lamaholot, lewotanah bukan hanya sebuah kampung halaman semata. Secara umum bisa dikatakan bahwa lewotanah adalah sebuah prinsip kehidupan dan nilai-nilai yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat lamahlot. Prinsip kehidupan dan nilai-nilai tersebut menurut pendapat saya, paling tidak dapat dikaji dari tiga sudut pandang. Pertama, Lewotanah sebagai sumber kekuatan spiritual. Ungkapan yang mengatakan lewotanah molo go dore adalah salah satu contoh bahwa lewotanah memiliki kekuatan magisch religius. Kekuatan magisch religius ini adalah sebagai dampak dari kristalisasi koda kirin yang sungguh-sungguh diyakini memiliki kekuatan dan pengaruh terhadap kehidupan manusia lamaholot.
Kedua, lewotanah sebagai sumber kekuatan alam nyata.  Di dalam sebuah lewotanah pasti terdapat Nuba Nara, Ike Kwaat, Langobelen, dan atribut lainnya. Atribut-atribut seperti ini di alam nyata adalah sarana bagi manusia lamaholot untuk menyatakan syukur dan komunikasi kepada Tuhannya, sang Penciptanya dengan sebutan Rerawulan Tanaekan atau Ama Rerawulan Ina tanaekan. Ketiga, lewotanah sebagai sumber sistem pemerintahan adat. Masyarakat lamaholot sangat menghormati nilai-nilai kehidupan yang diwariskan leluhurnya. Nilai-nilai kehidupan itu dapat dilihat dari hubungan antara pribadi satu dengan pribadi yang lainnya, antara suku dengan suku, suku dengan lewo (lewotanah) dan antara lewo (lewotanah) dengan lewo (lewotanah). Semua itu terstruktur dalam suatu sistem pemerintahan adat yang dihormati oleh masyarakat lamaholot. Tulisan ini ingin mengkaji point yang ketiga yakni lewotana sebagai sistem pemerintahan adat dan relevansinya dalam pembuatan perbup dan perdes di Flores Timur.

II. LEWOTANA SEBAGAI SUMBER SISTEM PEMERINTAHAN ADAT

Sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1983:955). Dari pengertian tersebut dapat dianalisis bahwa sistem adalah satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Artinya masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas satu sama lain, tetapi saling berhubungan satu dengan yang lain (Sudikno Mertokusumo, 2004:18).
Pemerintahan adat adalah organisasi kekuasan secara adat yang lahir dan bertumbuh secara turun temurun dalam masyarakat. Pemimpin-pemimpin suku dan lewo tersebut diakui otoritasnya didalam memimpin anggota masyarakatnya. Fakta menunjukan bahwa apabila ada oknum-oknum tertentu yang  tidak mentaati atau membangkang terhadap otoritas dari pemimpin-pemimpin suku dan atau pemimpin lewo/lewotana maka tidak mustahil segalah kutuk dan petaka akan menimpa oknum tersebut. Realita ini memberikan pelajaran yang berharga kepada kita semua bahwa pemimpin-pemimpin tersebut memiliki power dari Tuhan Rerawulan Tanaekan bukan dari manusia.
Dalam sebuah lewotanah terdapat beberapa suku. Suku-suku tersebut memiliki tugas, wewenang dan fungsinya masing-masing. Disamping itu juga, suku-suku tersebut saling memperlengkapi satu dengan yang lainnya. Artinya kehadiran satu suku yang paling kecil sekalipun memberikan makna tersendiri dalam sebuah misi lewotanah. Demikian halnya dengan sebuah lewo atau lewotanah. Antara satu atau beberapa lewo atau lewotanah dapat saya pastikan memiliki hubungan dengan lewo atau lewotanah lainnya. Hubungan itu dapat kita temukan dalam berbagai tanda seperti nama suku, nama lewo, nama keturunan sampai kepada nama nuba nara, ike kewat dan sebaginya.
Manusia lamaholot selalu berada dalam sebuah komunitas yang disebut suku. Didalam suku inilah eksistensi manusianya menjadi berarti. Memiliki suku berarti memiliki payung perlindungan. Suku adalah sebuah otoritas dalam sebuah lewotanah dimana manusia individu dan kelompok melakukan segalah aktivitasnya untuk membangun kehidupannya. Tidak berlebihan apabila kita mengatakan suku adalah dasar pertama manusia lamaholot menemukan fungsi, misi atau panggilan ilahi dari Tuhan Rerawulan Tanaekan. Karena itu, manusia lamaholot yang kuat dan berkualitas adalah manusia lamaholot yang senantiasa menggali dan menemukan fungsi sukunya dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Fungsi suku pada prinsipnya adalah menunjang fungsi dan misi dari lewotanah. Fungsi suku adalah penjabaran dari fungsi lewotanah dalam aspek-aspek tertentu. Fungsi dan misi dari lewotanah dapat terlaksana dengan baik apabila setiap suku yang terhimpun dalam lewotanah tersebut melaksanakan fungsi dan misinya dengan baik. Tidak hanya sampai disitu saja, akan tetapi antara satu lewotanah dengan lewotanah lainnya juga melaksanakan fungsi dan misinya yakni membangun anak-anak lewotana kearah yang lebih sejahtera. Artinya lewotanah baik secara spiritual, secara alam nyata maupun secara sistem pemerintahan adat semuanya harus membangun kehidupan manusia lamaholot yang lebih bermartabat dan sejahtera. Lewotanah dibangun oleh kaka ama, para leluhur kita mempunyai maksud dan tujuan yang sangat mulia. Apakah hari-hari ini, kita semua sudah menemukan maksud dan tujuan tersebut?
 Inilah saat dan momentum yang sangat tepat bagi kita semua, untuk merefleksikan kehidupan kita semua untuk menemukan tujuan dimana kita berhimpun dalam sebuah lewotanah tersebut. Lewotanah dibangun bukan hanya sekedar untuk kita mencari makan dan minum. Akan tetapi lebih dari itu, yakni manusia lamaholot semakin menyadari ketergantungannya dengan sang penciptanya Tuhan Rerawulan Tanaekan. Hubungan manusia lamaholot dengan sang penciptanya semakin dipertambah-tambahkan ketika manusia lamaholot hidup bukan hanya bagi dirinya sendiri, akan tetapi hidup memberikan arti bagi orang lain yakni menjadi alat lewotanah untuk mensejahterakan suku lango, dan lewotanah.

III. SISTEM PEMERINTAHAN ADAT DAN RELEVANSINYA DALAM PEMBUATAN PERBUP DAN PERDES

Kita tidak dapat memungkiri bahwa rancangan peraturan perundang-undangan ditingkat Kabupaten Flores Timur, apakah itu Perda, Perbup dan sebagainya harus bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Lamaholot. Salah satu nilai yang hidup dalam masyarakat lamaholot adalah konsep tentang Lewo atau Lewotanah.
Berkaitan dengan goal diskusi kita, yakni bisa menghasilkan Perbup dan Perdes yang pada akhirnya dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan setiap konflik (khususnya konflik pertanahan) di Lewotanah atau di Lewo masing masing bahkan gabungan beberapa Lewo di Kabupetan Flores Timur. Ijinkan saya menyampaikan beberapa hal yang menurut saya penting untuk dikaji dalam rangka merancang dan mengimplementasikan Perbup dan Perdes dimaksud.
Implementasi Perbup tersebut nantinya ada di setiap desa dalam wujud Perdes. Kita tahu bahwa keberadaan Lewo berbeda dengan keberadaan desa. Itu sebabnya kajan tentang Lewo tentunya menjadi kajian yang menarik untuk dicermati. Ada desa yang juga merupakan Lewo. Misalnya Desa A dan juga merupakan Lewo  A. Untuk hal ini bisa dikatakan, tidak ada kesulitan berarti karena wilayah kekuasaan hukum desa dan wilayah kekuasaan Lewo berada pada wilayah hukum yang sama. Hal yang kiranya perlu dicermati juga adalah wilayah hukum sebuah desa berbeda dengan wilayah hukum sebuah Lewo di mana desa tersebut berada. Misalnya wilayah hukum Lewo meliputi atau menjangkau sampai ke desa lainnya. Saya contokan Lewo Kenotan di Adonara Tengah wilayah hukumnya menjangkau sampai ke desa Lite di Adonara Tengah. Bahkan sebaliknya, satu desa tapi terdiri dari dua Lewo. Misalnya Desa Karing Lamalouk terdiri dari Lewo Karing dan Lewo Lamalouk. Saya yakin masih banyak contoh di desa dan Lewo lainnya.
Karakteristik Lewo dalam arti kewenangan belen (pemimpin) Lewo bisa jadi ada perbedaan yang signifikan antara satu Lewo dengan Lewo lainnya di Kabupten Flotim. Hal ini penting untuk dikaji sehingga dalam pelaksanaan Perbup dan Perdes nantinya tidak mengalami banyak hambatan. Saya contohkan di Desa Kenotan (Lewo Kenotan) terdiri dari 12 (duabelas suku). Masing-masing suku memiliki kewenangan yang mandiri. Artinya bahwa kekuasaan hukum dari Lewo sudah didelegasikan kepada masing-masing suku tersebut. Sejauh mana kewenangan belen Lewo dan sejauh mana kewenangan belen suku di masing masing suku. Karakteristik Lewo Kenotan ini tentu berbeda dengan lewo-lewo lain di Adonara bahkan Flotim. Karena itu, adalah sangat perlu pengkajian lebih lanjut tentang karakteristik lewo-lewo lainnya yang ada di wilayah Flotim dalam mendukung rancangan dan pelaksanaan peraturan dimaksud.

IV. PENUTUP
1.   Fungsi suku dan  fungsi lewotana menjadi kata kunci bagi anak-anak lewotana lamaholot dalam menemukan jati diri dan panggilan ilahi dari lewotana dalam berkarya bagi lewotanah, bangsa dan negaranya.

2.   Lewotana adalah sebuah sistem pemerintahan adat yang memiliki kekuatan spiritual yang tinggi, karena itu, maka sudah saatnya masyarakat lamaholot sudah mulai mengkaji hubungan antara satu suku dengan suku lainnya yang tergabung dalam sebuah lewotanah. Hubungan antara satu suku dengan sebuah lewotanah dan hubungan antara satu lewotanah dengan lewotanah lainnya.

3.   Penelusuran hubungan ini tidak mustahil akan menemukan kembali hubungan persaudaran dan hubungan Nayu Bayan yang selama ini hilang atau ada tapi tidak begitu diperhatikan dengan baik. Hubungan Nayu Bayan inilah yang menjadi perekat di tengah kemajuan dunia ini yang semakin mengikis nilai-nilai persaudaraan masyarkat lamaholot. Hubungan Persaudaraan atau hubungan Nayu Bayan ini menjadi salah satu modal bagi masyarakat Lamaholot dalam merajut kedamaian yang hakiki yakni sejak Butamete Walanmara Tana Tawan Ekan Gere Nekhu, Nuba Nabe Tawan Nara Nabe Goe. Spirit atau prinsip inilah yang harus diagali sebagai sumber kekuatan dan sumber inspirasi dalam berkarya bagi anak-anak lewotanah untuk kemaslahatan bangsa dan negara.

4.   Perbup dan Perdes yang berbasiskan sistem nilai dalam masyarakat memberikan legitimasi yang sangat kuat dalam pelaksanaannya.


 
Curriculum Vitae:

Nama                    : Dr. Eduardus Bayo Sili, S.H.,M.Hum.
Asal                       : Desa Kenotan, Adonara Tengah
Tempat, Tgl Lahir   : Lamalouk, 10 Februari 1969.
Pendidikan             : 1. SDK Lite selesai 1982 di Kenotan.
                               2. SMPK Phaladhya selesai 1985 di Waiwerang.
                               3. SMEA Suryamandala selesai 1988 di Waiwerang.
                               4. Fakultas Hukum UNHAS selesai 1995 di Makassar.
  5. Magister Hukum UGM selesai 2006 di Yogyakarta.
  6. Doktor Ilmu Hukum UNAIR SELESAI 2015 DI Surabaya.
Pekerjaan               : Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram NTB.
Alamat                  : Jl. Majapahit No. 62 Mataram, Lombok. NTB.

Memahami Adonara Dengan Jiwa

 (Sebuah Refleksi terhadap tulisan berseri Anton Doni Dihen tentang Perang Tanding Adonara)


Oleh : Raymundus Penana Nuba

Kita harus kembali merevitalisasi nilai kehidupan tradisional terutama pada nilai-nilai budaya, adat dan spiritualitas sebagai ‘Atadiken Adonara’ seutuhnya. Aplikasi nilai hidup dalam makna perang tanding, seperti yang dipaparkan Anton dalam tulisannya, sudah dijumpai dalam kehidupan orang Adonara masa kini, namun mengarahkan ‘Atadiken Adonara’ untuk meninggalkan kebiasaan Perang Tanding yang sakral itu menurut saya adalah sebuah upaya sia-sia. Sebab wilayah yang sakral itu hanya bisa dipengaruhi oleh ‘manusia titisan’ atau yang memiliki kewenangan di bidang adat seperti para imam adat yang memahami masalah dengan jiwa ”.

Anton Doni Dihen – tokoh intelektual sekaligus politisi bernurani dari Adonara, telah menggambarkan secara komprehensif  Perang Tanding Adonara,  dilihat dari dua tinjauan studi yakni potret Perang tanding di Adonara dalam kajian Dr. Karolus Kopong Medan dan Ernst Vatter. Anton dengan tegas mengeritik Vatter karena tesisnya hanya ditopang oleh sebuah studi yang dangkal sehingga berakibat salah menyimpulkan hakekat perang tanding di Adonara dan perilaku sosial manusianya. Anton telah menyodorkan prinsip dan nilai hidup orang Adonara melalui perang tanding dengan sangat apik dan terstruktur, untuk memberikan jawaban terhadap Ernst Vatter. Wajah Adonara yang suram dalam justfikasi Ernst Vatter diubah menjadi unik dan bermartabat dari sisi nilai-nilai kehidupan dalam makna perang tanding yang dikonstruksi Anton dalam tulisannya.

Bagi saya, jawaban Anton atas tesis yang dikembangkan oleh Ernst Vatter memberi dampak positip untuk membawa keluar masyarakat Adonara dari jeratan Vatter pada opini sesat dan tak bertanggungjawab. Sebab memateraikan Adonara dengan narasi dan diksi yang tidak tepat adalah sebuah kecelakaan peradaban yang dilakukan oleh ilmuwan eropa. Mereka sangat konyol dan dangkal memahami peradaban orang Adonara yang mengandung kemuliaan dan kesakralan dalam dimensi kehidupan universal khsusnya dalam perang tanding. Namun patut dimaklumi, karena studi kasus terhadap sebuah entitas kebudayaan serta peradaban orang lain di luar diri peneliti, sedikitnya pasti ada penyimpangan makna apalagi jika dilakukan dengan tanggungjawab moral yang sunyi.
 
Perang tanding di Adonara biasanya didominasi oleh masalah tanah. Tanah merupakan obyek utama sengketa yang melahirkan perang tanding. Tetapi tanah juga sebagai tempat bertumbuhnya ‘nepa nolan’ atau sumber makanan nabati serta tumbuh-tumbuhan lain untuk menopang kehidupan manusia. Jika tanah hanya berfungsi sebatas tempat pijak tanpa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk makanan maupun minuman serta obat-obatan untuk kesehatan maka hampir dipastikan tidak ada kehidupan di muka bumi ini. Tumbuh-tumbuhan menyuplay oksigen (udara) untuk kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanah pula yang menyimpan air untuk kebutuhan hidup semua makhluk hidup termasuk manusia. Tanah pula yang menjadi tempat ‘kencing dan berak’ manusia. Demikian juga dalam rekayasa penciptaan manusia, tanah adalah sumber penciptaan, sumber kehidupan, dan tanah juga sebagai sumber kematian. Tuhan telah menciptakan manusia dari tanah, seturut gambar dan rupanya, hingga akhirnya manusia kembali menjadi tanah. Dalam tutur orang Adonara terkait penghormatan terhadap tanah, sering terdengar petuah, ‘mekiro maaro peko, tairo maaro wauna’ maka, ‘gong di peten, menu di peten’. Maksudnya adalah, dimana tanah itu dipijak, harus selalu ingat untuk memberi penghormatan pada tanah itu sendiri dan kepada siapa pemilik daripada tanah itu. Misalnya, sebagai orang Adonara yang berdiam di tanah Timor, kami wajib memberi penghargaan terhadap tanah timor, beserta leluhur mereka yang pertama kali mendiami dan menjadi pemilik tanah tersebut. Dalam ritual ‘bau lolon’ dalam tradisi Adonara, sebutan untuk penghormatan terhadap leluhur tanah timor wajib terungkap dalam ritual tersebut.
 
Tanah sebagai ibu bumi, sering disebut juga sebagai ‘ina guna tana ekan’ atau fungsi ibu yang dimaknai sebagai tanah atau bumi. Tanah dan ibu memiliki peran yang sama, menciptakan hidup, melahirkan hidup, menjaga kelangsungan hidup, serta mengembalikan kehidupan pada rahimnya. Dari Rahim ibu atau tanah, bertumbuh kehidupan, dari Rahim Ibu atau tanah membentuk dan menjaga ‘tube mange’ atau asupan makanan untuk menghidupi jutaan sel dan napas kehidupan manusia. Tanah diasosiasikan dengan Rahim daripada ibu, yang mengandung, melahirkan, memberi asupan makan, serta menjaga kelangsungan hidup manusia. Tanah adalah Rahim ibu yang dipakai untuk menciptakan manusia serta menghidupkan manusia sampai pada kematiannya.

Bagi ‘Atadiken Adonara tanah dipahami sebagai ibu, yang mesti diberi penghormatan yang tinggi karena rahimnya, serta pengorbanan saat kelahiran, kehidupan sampai pada kematian manusia. Manusia Adonara percaya, bahwa fungsi ibu bisa mengutuk kehidupan, jikalau ia didurhakai, dikhianati atau dilukai. Tanah telah memberi nilai tersendiri dalam kehidupan ‘Atadiken Adonara. Maka kepada tanah, ‘Atadiken Adonara memaknainya secara unik, penuh penghayatan dan keyakinan untuk dihormati. Jika keluar dari nilai yang diyakini ini maka, ada saja musibah atau peristiwa yang bakal menimpa kehidupan manusia. Salah satunya adalah perang tanding yang menimbulkan pertumpahan darah manusia. Persoalan tanah telah memicu sikap sensivitas manusia Adonara, tanah mengajarkan ‘Atadiken Adonara untuk menghormati kepemilikan orang lain, tanah juga mengajarkan kepada manusia agar menjaga hubungan dengan alam, leluhur juga Tuhan. Namun sikap patuh pada nilai ini semakin pudar pada generasi sekarang. Maka tidak heran, jika ada saja peristiwa pilu yang terjadi, lalu kita mulai mencari jalan keluarnya.

Menurut saya, tulisan Anton Doni Dihen belum sepenuhnya menggambarkan fungsi tanah bagi orang Adonara dalam pemaknaan yang lebih kuat sebagai ibu bumi sekaligus sebagai salah satu sumber terjadinya konflik perang tanding di AdonaraSebab mendalami tanah sebagai sumber kehidupan dalam pemaknaan ‘Atadiken Adonara’ maka kita akan lebih mudah menaruh solusi terhadap perang tanding itu sendiri. Generasi Adonara kini sudah tidak memahami lagi makna sesungguhnya daripada tanah sebagai ibu, sehingga ritual-ritual purba peninggalan leluhur untuk menghormati tanah hampir tidak ada lagi. Misalnya ritual sebelum memulai musim tanam dan musim tuai. Lebih krusial lagi, dijaman ini, banyak manusia yang sengaja mencari keuntungan atas tanah yang sesungguhnya bukan milikinya dengan cara mengklaim kepemilikan. Tanah itu jika diperlakukan dengan tidak adil, maka ia sendiri yang akan memberikan sanksi. Seperti contoh, tanah ‘kenep’hong’. Tanah yang diwariskan oleh leluhur yang tidak memiliki keturunan. Tanah tersebut dianggap sangat ‘panas’ dan mesti tahu mengolahnya. Jika tidak, maka akan mendatangkan musibah diantaranya nyawa bisa direnggut dalam berbagai musibah atau kecelakaan.
 
Studi kasus yang dikembakan Anton Doni Dihen dalam tulisan berseri, telah menawarkan solusi yang masih berpijak dipermukaan masalah. Bagaimana mungkin orang Adonara diseruhkan untuk berhenti perang dan diarahkan kepada perang modern yakni perang terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini baik, tetapi disaat yang bersamaan begitu banyak orang Adonara juga telah membuktikan diri sebagai pemimpin, hampir disetiap lini kehidupan. Itu artinya, pondasi dasar dalam mengemban nilai-nilai hidup yang diperoleh dari kelompok atau komunitas sosial Adonara selalu ‘berlayar dalam aliran darah’ setiap ‘Atadiken Adonara’ dan hampir diseluruh aspek kehidupan baik sosial, politik, ekonomi dan juga ketahanan mental spiritualnya. Aplikasi nilai hidup dalam makna perang tanding, seperti yang dipaparkan Anton dalam tulisannya, mestinya sudah dijumpai dalam kehidupan orang Adonara masa kini, namun mengarahkan ‘Atadiken Adonara’ untuk meninggalkan kebiasaan Perang Tanding yang sakral itu menurut saya adalah sebuah upaya sia-sia, sebab wilayah yang sakral itu hanya bisa dipengaruhi oleh ‘manusia titisan’ atau yang memiliki kewenangan di bidang adat seperti para tokoh adat yang memahami masalah dengan jiwa. Memahami hakekat nilai serta konstruksi berpikir sebagai ‘Atadiken adonara’ yang sangat mulia dan berkeadilan. Mengutip pernyataan Prof. Elias Kopong dalam sebuah wawancara dengan saya,”sekalipun sekolah saya tinggi, tetapi saat berada di kampung saya tidak punya kewenangan untuk mengatur adat, karena suara saya tidak ada gesah,”. Artinya bahwa, setinggi apapun pendidikan formal kita, urusan menyangkut  tata nilai dan adat istiadat di Adonara tetap berpedoman pada para pelaku adat yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi atau yang memiliki gesah.

Ketika kita tarik masuk pemahaman ini pada upaya Anton Doni untuk mencari formulasi menghidari perang tanding yang sesungguhnya ke perang tanding dengan semangat baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka menurut saya kecil kemungkinan akan mempengaruhi orang untuk membelokan pemikirannya ke arah sana. Hemat saya, menyelesaikan persoalan perang tanding di Adonara adalah dengan mengarahkan orang untuk kembali kepada fondasi nilai yang bertumbuh dalam komunitas sosial ‘Atadiken Adonara’, tentang tata nilai yang sudah mentradisi. Kita harus kembali merevitalisasi nilai kehidupan tradisional kita sebagai ‘Atadiken Adonara’, terutama pada nilai-nilai budaya, adat dan spiritualitas sebagai ‘Atadiken Adonara seutuhnya. Misalnya dalam ungkapan ata raen dore raen, moripet koda, matanet di koda, Moem muren deino moon kodham, moem nalan gokano moom kodham, muko tapo ne ake taka, karena ele ne plate-plate, ake isak biat ata ina bine wae buma, dan masih begitu banyak larangan serta pantangan sebagai perwujudan dari nilai yang hidup di tengah-tengah kehiupan ‘Atadiken Adonara’Untuk menjalani fungsi revitalisasi nilai ini, kita mesti membangun infrastruktur semi formal guna mengembangkan pola penyelesaian masalah dengan aturan yang hidup dan berkembangan di tengah masyarakat. Tentang perang tanding, mestinya pernah ada contoh yang patut diguguh, misalnya penyelesaian masalah batas tanah antara desa Lewopao dan desa Lamahelan pada beberapa decade silam. Mereka bersepakat untuk bersumpah, dengan tata ritual sesuai tradisi setempat. Hanya dengan syarat menuang tuak ke tanah atau ‘bau lolon’ saja, orang akan mempertimbangkan berulang kali untuk maju ke arena sumpah. Sebab konsekuensi dari ‘bau lolon’ atau lebih tinggi lagi dengan ‘belo berekan’ adalah menyangkut nyawa manusia juga. Perhatikan baik-baik cerita tentang proses damai sengketa tanah Lewopao – Lamahelan ini. Pasti ada yang menjadi korban karena peristiwa belo brekan atau bau lolon tersebut.

Oleh sebab itu menurut saya, solusi yang ditawarkan Anton Doni adalah sebuah kajian yang masih debatable, dimana akar masalah masih tersisihkan secara serius. Untuk itu, kebiasaan tutu koda marin kirin terhadap persoalan perang tanding di Adonara, mesti memiliki ruang yang serius untuk terus digalakan dari waktu ke waktu. Bagi saya, dengan mengembangkan organisasi semi otonom yakni lembaga adat baik ditingkat desa/lewo, tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten adalah sebuah solusi. Lembaga ini dibiayai oleh pemerintah untuk menjalankan fungsi pemerintahan tradisional antara lain, menciptakan aturan adat, sosialisasi aturan adat, memberikan sanksi terhadap pelanggar aturan adat, menyelesaikan masalah secara adat dan bekerjasama dengan lembaga adat lainya di desa/lewo untuk menetapkan batas ulayat masing-masing desa. Pada ruang informal ini, mereka akan bicara dari hati ke hati, menempatkan kebenaran hakiki di atas kepalanya, mencari kebenaran sejati di relung hatinya, sebab mereka adalah orang-orang pilihan atau delegator yang memiliki kewenangan secara adat untuk mengurai dan menyelesaikan masalah apapun, termasuk perang tanding. Dia akan membawa suara dari bawah, dari kampungnya/lewo untuk disampaikan ketingkat lebih atas pada lembaga adat ini.

Solusi yang ditawarkan di atas, sesungguhnya sedang mengajak ‘Atadiken adonara’ untuk kembali pada jati diri yang sesungguhnya, pada norma dan aturan adat lain yang mengikat. Inilah akar masalah kita saat ini, dimana degradasi nilai kehidupan yang telah ditanam oleh pendahulu kita tercerabut dari akarnya. Jika akarnya tercerabut, maka mudah untuk ditumbangkan. Peristiwa kemanusiaan selalu paralel dengan sikap dan tingkah laku manusia terhadap sesama, alam, leluhur dan juga kepada Tuhan. Pada dimensi ini, kita harus sadar bahwa kita sudah parah masuk dalam cengkraman peradaban modern, yang melumpuhkan pengertian hidup kita sebagai ‘atadiken’ yang berkata, bertindak dan berpikir jernih, jujur, iklas, rendah hati, gotong royong dan saling menghormati. Semua ini adalah nilai fundamental dalam hidup berkomunitas sebagai ‘Atadiken Adonara’. Hormat saya buat kakanda Anton Doni Dihen, pemilik kerendahan hati, kader Adonara yang berintegritas dan selalu menghormati siapa saja. Pada dirimu kutemukan sejuta makna, arti sesungguhnya sebagai ‘Atadiken Adonara’ sejati. Teriring salam, Puin Taan Uin Tou, Gahan Taan Kahan Ehan !

Perang Historis Adonara (1) : Vatter dan Bias Pendekatan

 

Oleh : Anton Doni Dihen


Adonara merupakan suatu entitas jati diri yang menarik. Wajahnya mungkin tampan, tapi sekaligus membuat penasaran. Dan bisa dinilai berbeda antara yang satu dan yang lainnya. Saya masih ingat cerita tentang seorang pastor. Yang datang ke Adonara untuk mengenal lebih dekat orang Adonara. Sesampai di dermaga Waiwerang dia bertanya, apakah saya bisa bertemu orang Adonara. Lalu orang-orang di dermaga Waiwerang mengatakan, kami orang Adonara. Dia bingung, koq orang-orang Adonara pada baik, berbeda dari gambaran yang dia peroleh sebelumnya. 

Ya gambaran yang dia peroleh dari publikasi Ernst Vatter. Tentang Adonara Pulau Pembunuh (Adonara, Island of Murderers). Sebagaimana sudah berulang dikutip di berbagai publikasi, di sana Vatter menulis: 

“There is no region in the east of the Netherlands Indies in which there is so much murder as on Adonara. Almost all murder and violence, raids and brutal offences which are brought to trial in Larantuka are committed by Adonarese. No other island in the east of the Indian archipelago has so bad a reputation both among Europeans and the inhabitants of neighbouring regions as this island, which is blessed by nature with beauty and fertility and whose population is distinguished from the neighbours by exceptional intelligence, enterprise, adaptability and limitless vitality. It is not just the curse of blood feud which burdens this land and in fatal linkages year in and year out demands victims over and over again. A special emotional and mental structure, foreign to the other people of the Solor-Alor archipelago, also plays a role: an exaggerated sensitivity to offences and insults, however harmless by nature, towards all friction and misunderstandings, as is unavoidable in communal life, a sometimes grotesque vanity and megalomania, combined with marked feelings of inferiority about their own race and culture, joy in war and blood-letting, paired with mistrust and fear. Finally, an unmistakable inclination to brutality and cruelty, or perhaps more correctly, an untameable drive to give spiritual tensions an explosive resolution through acts of violence. One could also describe Adonara as the island of immoderation. For European sensibilities, provocation and response among these people stand in no relationship. Inducement and reaction seem to us to be beyond any rational relationship (Vatter 1932: 157).” 

Dengan gambaran seperti itu, tentu saja Vatter menghasilkan gambaran yang buruk dan menyeramkan tentang Adonara. Dan ketika, misalnya, dikutip oleh majalah travel “Lonely Planet” dalam suatu publikasi, kita bisa membayangkan dampaknya pada kunjungan wisata orang asing ke Adonara. 

Namun demikian, potret vulgar seperti itu tampaknya sedikit kita butuhkan pada hari-hari ini, ketika orang-orang Adonara ingin merefleksikan dengan lebih tenang siapa diri mereka sebagai Adonara dan bagaimana harus berjalan menuju masa depan. 

Ada beberapa catatan yang dapat diberikan terkait judul dan alinea yang sangat panjang tersebut di atas. 

Pertama, judul Pulau Pembunuh dan deskripsi dengan menggunakan kata “raids” dan “brutal offences” terasa tidak sepenuhnya tepat dalam menggambarkan perilaku Adonara. Sebagaimana saya pahami, orang Adonara tidak membunuh orang sembarangan. Hanya pihak yang berselisih yang saling membunuh. Bahkan kalau boleh berspekulasi, Adonara adalah pulau yang paling aman untuk orang asing dan orang yang tidak mempunyai hubungan persengketaan. Orang asing dan orang-orang tanpa hubungan persengketaan bahkan bebas melintasi kawasan konflik tanpa ada gangguan sama sekali.
Beberapa peristiwa yang dirujuk Ernst Vatter dan RH Barnes (dalam tulisannya berjudul “An Outbreak of Violence in Eastern Adonara, Indonesia, in 1934”), yang dalam khasanah budaya perang Adonara dikenal dengan istilah “beluban” (penyanderaan dan pembunuhan seseorang atau beberapa orang dari kalangan lawan di tempat yang jauh dari tempat sengketa untuk membalas dendam dan memancing pertempuran yang lebih serius) lebih menggambarkan kurangnya gentlemanship ketimbang menggambarkan kebrutalan. Sebab orang-orang yang menjadi korban “beluban” pasti merupakan orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan asal desa (atau lewo) yang sama dengan pihak lawan. 

Juga sebagaimana yang digambarkan oleh Kopong Medan dalam tesisnya, perang di Adonara yang umumnya berkarakteristik perang tanding berlangsung dengan norma-norma yang jelas, baik berkaitan dengan waktu, tempat, alat yang digunakan, dan siapa yang boleh disentuh. Perang berlangsung dalam ketertiban norma. Pelanggaran dan penyimpangan mungkin terjadi, dulu dan belakangan ini, tapi pelanggaran dan penyimpangan ini tidak terlalu jauh berjarak dari standar norma karena selalu ada prinsip “ketun matan kuluke” (jeli melihat siapa yang pantas untuk dijadikan sasaran). 

Kedua, penggambaran sejumlah karakteristik (karakteristik baik dan karakteristik buruk) yang dilihat sebagai khas Adonara dibandingkan dengan pulau sekitarnya (antara lain, bad reputation dalam hal pembunuhan, special emotional and mental structure, exceptional intelligence, enterprise, adaptability, dan limitless vitality) menghadirkan dugaan bahwa ada lingkungan sejarah yang unik Adonara, yang memproduksi karakteristik tersebut. Sebab secara genetika dan sebagai bagian dari masyarakat Lamaholot pada umumnya, perbedaannya dengan masyarakat Lamaholot lain di luar Adonara mestinya tidak signifikan. Saya menduga bahwa di antara empat karakteristik positif di atas (exceptional intelligence, enterprise, adaptability, dan limitless vitality) ada karakteristik yang justru berhubungan dengan atau diproduksi secara tidak langsung oleh budaya perang. Sayang sekali Vatter tidak menelusuri bagaimana masyarakat ini bisa memproduksi hal unik dalam sejumlah karakteristik di atas dan hanya melihat hubungan antara bad reputation dalam hal pembunuhan dengan special emotional and mental structure, yang terlalu sensitif, terlalu berlebihan sedemikian rupa sehingga tidak masuk akal untuk orang Eropa. “For European sensibilities, provocation and response among these people stand in no relationship. Inducement and reaction seem to us to be beyond any rational relationship,” tulis Vatter. 

Ketiga, begitu terfokusnya Vatter pada perilaku pembunuhan, dan begitu terjebaknya dia dalam melihat fenomena permukaan, sehingga nilai-nilai yang berkembang seputar perang diabaikan dalam studi Vatter. Padahal, sebagai orang Adonara saya yakin, bahwa budaya perang menumbuhkan banyak nilai. Bahkan kadar komitmen pada nilai-nilai itu sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi keunikan positif orang Adonara. 

Sebagaimana yang juga dicatat oleh Karolus Kopong Medan, budaya perang menguatkan komitmen orang Adonara pada kebenaran dan keadilan. Sebab satu-satunya alasan berperang adalah mencari kebenaran dan keadilan. Orang tidak berperang karena sekadar melampiaskan hobi. Maka ketika kita salah, kita tidak maju ke medan perang. Tapi ketika kita yakin kita benar, kita tidak tanggung berperang. 

Budaya perang juga menumbuhkan iman, keberanian, kepercayaan diri, dan keperkasaan, bahwa ketika kita berdiri di pihak yang benar, tidak ada yang perlu ditakutkan. Kita percaya bahwa Tuhan dan leluhur lewotana akan melindungi kita jika kita berada di pihak yang benar. 

Perang juga mensyaratkan kebersihan diri. Kita tidak ikut berperang ketika kita tahu kita punya sejumlah kesalahan atau dosa pribadi. Orang dengan dosa pribadi akan menemukan tanda-tanda dalam perjalanan ke medan perang, misalnya terluka karena duri kecil. Maka ketika menemukan tanda seperti itu, yang bersangkutan harus pulang dan tidak usah ikut perang. Demikian pula dalam kejadian perang, orang dilarang menyentuh perempuan atau memetik apapun dalam perjalanan perang tanpa seijin pemiliknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya perang juga menumbuhkan nilai kebersihan diri dan kelurusan hidup. 

Di samping itu, budaya perang juga menyumbang secara signifikan pada budaya demokrasi. Jika demokrasi yang berkualitas membutuhkan kualitas deliberasi (mendiskusikan dan mempertimbangkan sesuatu dengan seksama), maka perang Adonara menyumbangnya dengan cukup baik. Orang harus memperhitungkan sesuatu dengan seksama: alasan berperang, utang darah, utang budi, siapa saja yang dapat beraliansi, apa saja tutur prinsip yang dibawa ke medan perang, dan sebagainya. “Uku kirin” atau deliberation menjadi bagian penting dalam budaya perang. Dan ini membentuk watak orang Adonara yang suka mendengar, tertib dalam diskusi, dan cermat dalam menyampaikan pendapat. Apa yang ditangkap Vatter sebagai exceptional intelligence sebenarnya juga pada tingkat tertentu disumbangkan oleh budaya perang. Orang Adonara dituntut dan terlatih untuk memperhitungkan sesuatu dengan seksama. 

Keempat, yang menjadi pekerjaan rumah dalam kerangka transformasi Adonara ke depan, mestinya berkaitan dengan ciri yang dinyatakan oleh Vatter sebagai sensitivitas yang berlebihan. “Special emotional and mental structure”. Yang tidak dimengerti oleh orang luar. Intinya, orang Adonara terlalu mudah tersinggung. Gampang mutung (kata bahasa Jawa untuk gampang tersinggung). Persoalan dan reaksi terhadap persoalan tidak sebanding. Reaksinya terlalu berlebihan. Apalagi menyangkut kepemilikan tanah, batas lahan, dan perempuan. 

Kita bisa membandingkan, misalnya dengan orang Maumere. Di sana orang dapat berbicara dan berdebat soal kepemilikan lahan dengan terbuka dan bebas tanpa menimbulkan ketersinggungan. Pengacara dapat mendampingi kliennya yang bermasalah dalam urusan tanah
untuk mendiskusikan dengan pihak yang bersengketa sebelum diputuskan untuk dibawa ke pengadilan. Sementara di Adonara, jalan tersebut tentu merupakan sesuatu yang terlalu sensitif. Adonara terlalu mudah berbicara dengan parang. 

Kelima, dalam kaitan dengan keempat poin tersebut maka dapat dikatakan bahwa sebagai orang Adonara kita tidak perlu menyesal dan mengutuk diri sebagai orang yang mewarisi citra buruk sebagaimana yang digambarkan Vatter. Kita melihat sejarah dan fakta perang-perang historis sebagai jalan peradaban kita, yang menumbuhkan nilai-nilai tertentu dengan kadar yang tinggi. Yang kita hikmati, tanpa perlu berimplikasi pada rasa kesombongan atau sikap untuk meneruskannya. Yang perlu kita lakukan selanjutnya adalah memindahkan nilai-nilai positif yang diproduksi budaya perang tersebut dari praktek perang sebagai ruang aktualisasinya pada masa lampau, dan menempatkannya dalam ruang aktualisasi baru di dunia modern, di bidang ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya. 

Pada saat yang sama, karakteristik negatif seperti mudah tersinggung adalah sesuatu yang menuntut perlakuan khusus dalam pekerjaan peradaban ke depan. Saya sendiri belum menemukan penjelasan yang memadai tentang ciri mudah tersinggung ini, dan karena itu menjadi tugas tersendiri untuk menumbuhkan emotional intelligence yang berisi kesportifan, pengendalian diri, keterbukaan, dan kesabaran dalam perjalanan Adonara ke depan sebagai suatu masyarakat dengan cultural space-nya yang unik. 

Transformasi menuju Adonara dengan wajah baru tentu tidak cukup jika hanya berbasis pada pengetahuan permukaan sebagaimana diproduksi oleh Vatter dengan rumusan di atas. Dia membutuhkan topangan studi lebih banyak, sebagaimana disarankan oleh Bubandt dan Molnar (2004) dan digarisbawahi RH Barnes dalam laporannya “A Legendary History in Witihama, Eastern Adonara, Indonesia: An Enduring Context for Disagreement”: Kita membutuhkan “studies that are ethnographically thick and theoretically sophisticated enough to capture the many levels and complicated processes involved in the production of violent conflict.”

Perang Historis Adonara (2): Kopong Medan dan Adonara yang Terus Berperang

 

Oleh : Anton Doni Dihen

 
Adonara, sebagaimana entitas kultural lain, membutuhkan pendekatan yang lebih empatetik dan komprehensif dalam usaha mengenalinya. Mengutuk gejala permukaannya tanpa mengenal lapisan budaya dan sistem sosial di bawahnya yang memproduksi gejala tersebut merupakan kerja akademik yang tidak memadai untuk perubahan sosial. 

Maka relevan ketika seorang Karolus Kopong Medan menaruh perhatian pada kasus-kasus pembunuhan di Adonara dan mendekatinya dengan sudut pandang budaya hukum sebagaimana tertuang dalam tesisnya berjudul “Pembunuhan dalam Kasus Tanah dan Wanita di Adonara Flores: Suatu Studi Budaya Hukum” (1997). 

Kopong Medan berusaha melihat melampaui apa yang terlihat di permukaan sebagaimana yang dilakukan oleh Ernst Vatter. Dia mengungkapkan apa yang tersembunyi di balik perilaku orang Adonara yang “keras dan suka membunuh itu”. 

Dengan menggunakan kerangka analisis budaya, Kopong Medan berusaha memahami dunia konseptual orang Adonara, yaitu nilai-nilai, konsep-konsep, dan gagasan-gagasan yang melatarbelakangi pola pikir orang Adonara dalam memandang hidup dan dunianya. 

Kopong Medan kemudian fokus pada sistem religi, dan lebih khusus lagi ritus-ritus perang yang merupakan salah satu komponen sistem religi yang melatarbelakangi praktek perang. Dua komponen sistem religi lain tidak ditelusuri lebih detil, yakni mitos dan etika. Sejumlah elemen etika hanya diungkapkan ketika berhubungan dengan setiap ritus yang dideskripsikan. 

“Sistem ritual pembunuhan yang dapat dipandang sebagai drama ritual pembunuhan itu terdiri dari: fase pra pembunuhan (ritus mula
eken-peri wato, gahin koda, dan ritus bale nuren), fase pelaksanaan pembunuhan (ritus beliwane pana dan ritus oron urit), fase pra perdamaian (ritus odo mei/getun dan ritus bito batan-hoe bake), dan fase perdamaian (ritus mela sareka/hodi limat),” demikian Kopong Medan menulis tahapan ritus perang sebagaimana umum diketahui di Adonara. 

Kopong Medan melanjutkan dalam abstrak tesisnya, “Apabila kawasan ritual pembunuhan dicermati lebih jauh dengan menganalisa simbol-simbol budaya yang dipakai oleh orang Adonara, maka akan tampak nilai-nilai penting yang ingin diwujudkan dalam kehidupan sosial mereka. Nilai-nilai penting itu antara lain: (1) nilai pembuktian kebenaran dan keadilan, yang dapat ditelusuri melalui ritus mula eken-peri wato, ritus gahin koda, dan ritus bale nuren; (2) nilai keperkasaan atau keberanian yang dapat diamati dalam ritus beliwane pana dan ritus oron urit; (3) nilai perekat solidaritas kelompok yang dapat diamati dalam ritus gahin koda; (4) nilai kontemplasi atau perenungan yang dapat diamati dalam ritus odo mei; dan (5) nilai perdamaian atau rekonsiliasi dalam ritus hodi limat atau mela sareka. 

Kopong Medan akhirnya sampai pada kesimpulan, dengan basis kerangka berpikir fungsionalisme struktural, bahwa perang tanding di Adonara fungsional dalam memenuhi kebutuhan keadilan masyarakatnya, dan apabila prosesnya berjalan konsisten dalam alur ritus yang ada, maka kedamaian juga akan menjadi ujung dari praktek perang. 

Harus dikatakan, bahwa deskripsi sistem ritus perang dan orientasi nilai yang hidup bersamaan dengan sistem ritus tersebut mewakili pengetahuan orang Adonara pada umumnya. Demikian pula fungsi keadilan dan ujung perdamaian dari perang tanding pernah merupakan keyakinan orang Adonara di suatu titik waktu beberapa waktu silam –titik waktu yang bisa berbeda antar wilayah dan antar individu tergantung dialognya dengan dunia luar yang lebih modern dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh agama-agama baru.

Tetapi tentu saja beberapa pertanyaan segera muncul: Terlepas dari sudut pandang moral, apakah perang tanding belakangan ini secara empiris masih efektif menjalankan fungsinya sebagai penentu kebenaran dan pembawa keadilan? Apakah ujung perdamaian dari praktek perang selalu bisa dipastikan? Demikian pula ada sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan aspek pra keputusan perang yang berada di luar cakupan studi Kopong Medan tapi berkaitan dengan tradisi perang tanding: bagaimana proses “uku kirin” terjadi sebelum sampai pada keputusan untuk maju perang dengan sistem ritual yang ada? Apakah saja pertimbangan yang dilibatkan dalam proses “uku kirin” pra keputusan perang tersebut? Siapa saja yang dilibatkan dalam proses “uku kirin” pra keputusan perang? Bagaimana proses tersebut melibatkan pertimbangan moral kemanusiaan? Apakah ada peluang untuk mempertimbangkan keputusan menghindari perang dalam proses “uku kirin” pra keputusan perang? Otoritas mana saja yang berperan dalam proses musyawarah “uku kirin” dan pengambilan keputusan? 

Sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka ada beberapa catatan yang dapat diberikan. 

Pertama, soal fungsi kebenaran dan keadilan dari perang tanding. Sekalipun studi Kopong Medan bukanlah studi evaluatif empiris mengenai validitas perang tanding sebagai alat kebenaran dan keadilan, sudah saatnya melakukan evaluasi demikian. Ada sejumlah kasus yang menjadi obyek studi Kopong Medan, demikian pula ada beberapa kasus yang sudah menjadi obyek studi sebelumnya oleh Dominikus Dore. Dari kasus-kasus yang sudah dipelajari secara akademis dan beberapa kasus belakangan, posisi evaluatif semestinya sudah bisa disodorkan. Saya sendiri melihatnya sederhana, bahwa dari fakta jatuhnya korban perang di kedua pihak yang bersengketa maka sulit mengambil kesimpulan mengenai klaim pihak mana yang harus dibenarkan dalam sengketa tanah yang menjadi alasan perang. Demikian pula hidupnya kembali persengketaan terhadap tanah yang telah pernah diuji melalui perang tanding menunjukkan bahwa perang tanding gagal menghadirkan rasa keadilan di antara pihak yang bersengketa. 

Kedua, perdamaian yang diklaim seolah menjadi ujung niscaya dari ritual perang tanding juga dihadapkan pada pertanyaan serius mengenai validitasnya. Sekali lagi kita tidak tahu, dari sekian banyak kasus yang dikaji secara akademis dan beberapa kasus belakangan, berapa yang akhirnya berujung pada kedamaian yang sesungguhnya. Bisa saja yang terjadi adalah kedamaian sementara yang masih menyimpan potensi untuk bergejolak pada masanya. Malah yang lebih mungkin, adalah ketegangan mental tak berkesudahan karena para pihak yang bersengketa selalu hidup dalam suasana waspada. Intervensi Negara melalui aparatur keamanan dalam perang-perang tanding belakangan memang menghadirkan situasi aman yang akhirnya bertahan untuk waktu yang lama, tapi hal itu tidak memberi kepastian akan tercapaianya situasi kedamaian yang lestari. Di sini bahkan agak jelas bahwa situasi keamanan justru diproduksi oleh unsur Negara, bukan oleh alur ritual dan kepatuhan pada norma-normanya. 

Ketiga, sehubungan dengan kedua poin di atas, yang dapat dianggap sebagai kesimpulan sementara (atau hipotesis), maka saya lebih berpikir agar suatu generasi baru Adonara dapat mengambil posisi yang lebih tegas dan berani untuk mengatakan bahwa perang tanding dalam tradisi Adonara sudah tidak valid lagi dianggap sebagai wahana keadilan dan perdamaian. Secara transedental dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak lagi merestui perang sebagai alat keadilan dan perdamaian di Adonara. Dia, Tuhan yang sama, pasti melihat dan mengetahui praktek dan tradisi ini sepanjang sejarah Adonara, dan menitip nilai-nilai baik yang dapat dihadirkan melalui perang sebagaimana yang dicatat oleh Kopong Medan. Tapi tidak lagi sekarang, ketika Dia sudah hadir dengan pesan-pesan barunya dan hukum cinta kasih. Apalagi dengan begitu banyaknya putra dan putri Adonara yang dipanggil untuk mengikutiNya secara khusus. Maka mengikuti analogi Kitab Suci Katolik, jika kita mengadu kepadaNya, “Mengapa perang akhirnya menghasilkan korban di kedua belah pihak? Dan karena itu kami akhirnya sulit melihat kebenaran dan keadilan? Apa salah kami? Apa salah orang tua kami?”, maka jawabannya bisa saja mengejutkan kita: “Bukan salah kalian. Bukan juga salah orang tua kalian. Tetapi supaya kehendak Allah dapat dinyatakan”. Tugas generasi baru adalah mencari kehendak Allah tersebut, dan bagi saya jelas. KehendakNya adalah supaya perang segera dihentikan sebagai alat keadilan dan kebenaran. Perang tanding Adonara sudah saatnya diperlakukan sebagai sesuatu yang historis. Proyek Allah untuk menciptakan Adonara yang tangguh, berani, perkasa, committed pada nilai keadilan dan kebenaran, melalui perang sudah selesai. Dia justru mungkin mengajak kita mengaktualkan nilai-nilai tersebut di medan peperangan yang lain. 

Keempat, tafsir transedental atas gagalnya perang aktual sebagai mekanisme keadilan dan kebenaran di atas tentu membutuhkan kerja tindak lanjut yang tidak sederhana. Kerja tindak lanjut tersebut berhubungan dengan konsep yang oleh Kopong Medan didiskusikan secara cukup panjang lebar dalam tesisnya, yakni alternative dispute resolution, atau penyelesaian sengketa jalan lain. 

Kopong Medan sendiri sebetulnya mengargumentasikan perang tanding sebagai mekanisme penyelesaian sengketa jalan lain, di luar mekanisme peradilan modern yang hadir bersamaan dengan hadirnya negara modern. Kajiannya atas kerja lembaga peradilan modern dalam suatu kasus sengketa tanah di Adonara dengan hasilnya yang mengecewakan membuatnya terpanggil untuk mempertimbangkan perang tanding sebagai wahana peradilan alternatif tersebut. Tapi jika perang tanding pun tidak lagi valid sebagai mekanime alternatif, baik atas alasan empirik maupun atas alasan moral, maka tentu perlu pencarian alternatif lain di luar kedua mekanisme di atas. 

Di tengah hangatnya berita tentang perang tanding belakangan, di media sosial berkembang beberapa ide. Di antaranya adalah peradilan kampung dan belo berekane (pemotongan kepala kambing melalui ritual sakral untuk menentukan kebenaran dalam suatu sengketa) yang sudah tersedia dalam khasanah tradisi Adonara. Peradilan kampung sendiri telah pernah ada di tingkat Desa atau kampung beberapa dasawarsa yang lalu, dan cukup berwibawa dalam menjawab kebutuhan penyelesaian sejumlah sengketa. Sementara catatan tentang penerapan ritus belo bekerane dalam penyelesaian sengketa tanah masih sangat terbatas. Tentu saja kerja mempertimbangkan kedua wahana tersebut sebagai alternatif lembaga peradilan adalah kerja yang membutuhkan waktu. Perubahan sosial sudah jauh mengguncang organisasi sosial dan modal sosial di tingkat desa sedemikian rupa sehingga barangkali juga kita sudah mulai kesulitan menemukan orang yang dapat dipercaya untuk menopang peradilan kampung. Belum lagi untuk mencakupi wilayah lebih luas, semacam peradilan kampung harus dibentuk juga di tingkat kecamatan. Belo berekane juga barangkali membutuhkan modifikasi sedemikian rupa sehingga ritualnya dapat berjalan aman. Tapi apapun, semuanya itu dapat dijadikan alternatif, sekaligus semuanya itu membutuhkan kesediaan dan komitmen banyak orang untuk memulainya. 

Kelima, apapun langkah ke depan untuk menumbuhkan peradilan alternatif, dia membutuhkan suasana sosial yang kondusif, yang didominasi oleh pandangan-pandangan dan energi-energi damai, sapaan-sapaan penuh kasih dan persaudaraan satu sama lain, yang berlangsung spontan di tengah masyarakat. Dan lembaga-lembaga keagamaan pada umumnya dapat mengambil peranan tersebut, dengan hadir secara lebih nyata dalam dunia kemasyarakatan dengan derajat yang sama dengan perhatiannya pada ritual keagamaan di ruang-ruang formal keagamaan.

10.000 PENARI DI PESPARANI NASIONAL II