Minggu, 09 Februari 2025

Memahami Adonara Dengan Jiwa

 (Sebuah Refleksi terhadap tulisan berseri Anton Doni Dihen tentang Perang Tanding Adonara)


Oleh : Raymundus Penana Nuba

Kita harus kembali merevitalisasi nilai kehidupan tradisional terutama pada nilai-nilai budaya, adat dan spiritualitas sebagai ‘Atadiken Adonara’ seutuhnya. Aplikasi nilai hidup dalam makna perang tanding, seperti yang dipaparkan Anton dalam tulisannya, sudah dijumpai dalam kehidupan orang Adonara masa kini, namun mengarahkan ‘Atadiken Adonara’ untuk meninggalkan kebiasaan Perang Tanding yang sakral itu menurut saya adalah sebuah upaya sia-sia. Sebab wilayah yang sakral itu hanya bisa dipengaruhi oleh ‘manusia titisan’ atau yang memiliki kewenangan di bidang adat seperti para imam adat yang memahami masalah dengan jiwa ”.

Anton Doni Dihen – tokoh intelektual sekaligus politisi bernurani dari Adonara, telah menggambarkan secara komprehensif  Perang Tanding Adonara,  dilihat dari dua tinjauan studi yakni potret Perang tanding di Adonara dalam kajian Dr. Karolus Kopong Medan dan Ernst Vatter. Anton dengan tegas mengeritik Vatter karena tesisnya hanya ditopang oleh sebuah studi yang dangkal sehingga berakibat salah menyimpulkan hakekat perang tanding di Adonara dan perilaku sosial manusianya. Anton telah menyodorkan prinsip dan nilai hidup orang Adonara melalui perang tanding dengan sangat apik dan terstruktur, untuk memberikan jawaban terhadap Ernst Vatter. Wajah Adonara yang suram dalam justfikasi Ernst Vatter diubah menjadi unik dan bermartabat dari sisi nilai-nilai kehidupan dalam makna perang tanding yang dikonstruksi Anton dalam tulisannya.

Bagi saya, jawaban Anton atas tesis yang dikembangkan oleh Ernst Vatter memberi dampak positip untuk membawa keluar masyarakat Adonara dari jeratan Vatter pada opini sesat dan tak bertanggungjawab. Sebab memateraikan Adonara dengan narasi dan diksi yang tidak tepat adalah sebuah kecelakaan peradaban yang dilakukan oleh ilmuwan eropa. Mereka sangat konyol dan dangkal memahami peradaban orang Adonara yang mengandung kemuliaan dan kesakralan dalam dimensi kehidupan universal khsusnya dalam perang tanding. Namun patut dimaklumi, karena studi kasus terhadap sebuah entitas kebudayaan serta peradaban orang lain di luar diri peneliti, sedikitnya pasti ada penyimpangan makna apalagi jika dilakukan dengan tanggungjawab moral yang sunyi.
 
Perang tanding di Adonara biasanya didominasi oleh masalah tanah. Tanah merupakan obyek utama sengketa yang melahirkan perang tanding. Tetapi tanah juga sebagai tempat bertumbuhnya ‘nepa nolan’ atau sumber makanan nabati serta tumbuh-tumbuhan lain untuk menopang kehidupan manusia. Jika tanah hanya berfungsi sebatas tempat pijak tanpa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk makanan maupun minuman serta obat-obatan untuk kesehatan maka hampir dipastikan tidak ada kehidupan di muka bumi ini. Tumbuh-tumbuhan menyuplay oksigen (udara) untuk kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanah pula yang menyimpan air untuk kebutuhan hidup semua makhluk hidup termasuk manusia. Tanah pula yang menjadi tempat ‘kencing dan berak’ manusia. Demikian juga dalam rekayasa penciptaan manusia, tanah adalah sumber penciptaan, sumber kehidupan, dan tanah juga sebagai sumber kematian. Tuhan telah menciptakan manusia dari tanah, seturut gambar dan rupanya, hingga akhirnya manusia kembali menjadi tanah. Dalam tutur orang Adonara terkait penghormatan terhadap tanah, sering terdengar petuah, ‘mekiro maaro peko, tairo maaro wauna’ maka, ‘gong di peten, menu di peten’. Maksudnya adalah, dimana tanah itu dipijak, harus selalu ingat untuk memberi penghormatan pada tanah itu sendiri dan kepada siapa pemilik daripada tanah itu. Misalnya, sebagai orang Adonara yang berdiam di tanah Timor, kami wajib memberi penghargaan terhadap tanah timor, beserta leluhur mereka yang pertama kali mendiami dan menjadi pemilik tanah tersebut. Dalam ritual ‘bau lolon’ dalam tradisi Adonara, sebutan untuk penghormatan terhadap leluhur tanah timor wajib terungkap dalam ritual tersebut.
 
Tanah sebagai ibu bumi, sering disebut juga sebagai ‘ina guna tana ekan’ atau fungsi ibu yang dimaknai sebagai tanah atau bumi. Tanah dan ibu memiliki peran yang sama, menciptakan hidup, melahirkan hidup, menjaga kelangsungan hidup, serta mengembalikan kehidupan pada rahimnya. Dari Rahim ibu atau tanah, bertumbuh kehidupan, dari Rahim Ibu atau tanah membentuk dan menjaga ‘tube mange’ atau asupan makanan untuk menghidupi jutaan sel dan napas kehidupan manusia. Tanah diasosiasikan dengan Rahim daripada ibu, yang mengandung, melahirkan, memberi asupan makan, serta menjaga kelangsungan hidup manusia. Tanah adalah Rahim ibu yang dipakai untuk menciptakan manusia serta menghidupkan manusia sampai pada kematiannya.

Bagi ‘Atadiken Adonara tanah dipahami sebagai ibu, yang mesti diberi penghormatan yang tinggi karena rahimnya, serta pengorbanan saat kelahiran, kehidupan sampai pada kematian manusia. Manusia Adonara percaya, bahwa fungsi ibu bisa mengutuk kehidupan, jikalau ia didurhakai, dikhianati atau dilukai. Tanah telah memberi nilai tersendiri dalam kehidupan ‘Atadiken Adonara. Maka kepada tanah, ‘Atadiken Adonara memaknainya secara unik, penuh penghayatan dan keyakinan untuk dihormati. Jika keluar dari nilai yang diyakini ini maka, ada saja musibah atau peristiwa yang bakal menimpa kehidupan manusia. Salah satunya adalah perang tanding yang menimbulkan pertumpahan darah manusia. Persoalan tanah telah memicu sikap sensivitas manusia Adonara, tanah mengajarkan ‘Atadiken Adonara untuk menghormati kepemilikan orang lain, tanah juga mengajarkan kepada manusia agar menjaga hubungan dengan alam, leluhur juga Tuhan. Namun sikap patuh pada nilai ini semakin pudar pada generasi sekarang. Maka tidak heran, jika ada saja peristiwa pilu yang terjadi, lalu kita mulai mencari jalan keluarnya.

Menurut saya, tulisan Anton Doni Dihen belum sepenuhnya menggambarkan fungsi tanah bagi orang Adonara dalam pemaknaan yang lebih kuat sebagai ibu bumi sekaligus sebagai salah satu sumber terjadinya konflik perang tanding di AdonaraSebab mendalami tanah sebagai sumber kehidupan dalam pemaknaan ‘Atadiken Adonara’ maka kita akan lebih mudah menaruh solusi terhadap perang tanding itu sendiri. Generasi Adonara kini sudah tidak memahami lagi makna sesungguhnya daripada tanah sebagai ibu, sehingga ritual-ritual purba peninggalan leluhur untuk menghormati tanah hampir tidak ada lagi. Misalnya ritual sebelum memulai musim tanam dan musim tuai. Lebih krusial lagi, dijaman ini, banyak manusia yang sengaja mencari keuntungan atas tanah yang sesungguhnya bukan milikinya dengan cara mengklaim kepemilikan. Tanah itu jika diperlakukan dengan tidak adil, maka ia sendiri yang akan memberikan sanksi. Seperti contoh, tanah ‘kenep’hong’. Tanah yang diwariskan oleh leluhur yang tidak memiliki keturunan. Tanah tersebut dianggap sangat ‘panas’ dan mesti tahu mengolahnya. Jika tidak, maka akan mendatangkan musibah diantaranya nyawa bisa direnggut dalam berbagai musibah atau kecelakaan.
 
Studi kasus yang dikembakan Anton Doni Dihen dalam tulisan berseri, telah menawarkan solusi yang masih berpijak dipermukaan masalah. Bagaimana mungkin orang Adonara diseruhkan untuk berhenti perang dan diarahkan kepada perang modern yakni perang terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini baik, tetapi disaat yang bersamaan begitu banyak orang Adonara juga telah membuktikan diri sebagai pemimpin, hampir disetiap lini kehidupan. Itu artinya, pondasi dasar dalam mengemban nilai-nilai hidup yang diperoleh dari kelompok atau komunitas sosial Adonara selalu ‘berlayar dalam aliran darah’ setiap ‘Atadiken Adonara’ dan hampir diseluruh aspek kehidupan baik sosial, politik, ekonomi dan juga ketahanan mental spiritualnya. Aplikasi nilai hidup dalam makna perang tanding, seperti yang dipaparkan Anton dalam tulisannya, mestinya sudah dijumpai dalam kehidupan orang Adonara masa kini, namun mengarahkan ‘Atadiken Adonara’ untuk meninggalkan kebiasaan Perang Tanding yang sakral itu menurut saya adalah sebuah upaya sia-sia, sebab wilayah yang sakral itu hanya bisa dipengaruhi oleh ‘manusia titisan’ atau yang memiliki kewenangan di bidang adat seperti para tokoh adat yang memahami masalah dengan jiwa. Memahami hakekat nilai serta konstruksi berpikir sebagai ‘Atadiken adonara’ yang sangat mulia dan berkeadilan. Mengutip pernyataan Prof. Elias Kopong dalam sebuah wawancara dengan saya,”sekalipun sekolah saya tinggi, tetapi saat berada di kampung saya tidak punya kewenangan untuk mengatur adat, karena suara saya tidak ada gesah,”. Artinya bahwa, setinggi apapun pendidikan formal kita, urusan menyangkut  tata nilai dan adat istiadat di Adonara tetap berpedoman pada para pelaku adat yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi atau yang memiliki gesah.

Ketika kita tarik masuk pemahaman ini pada upaya Anton Doni untuk mencari formulasi menghidari perang tanding yang sesungguhnya ke perang tanding dengan semangat baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka menurut saya kecil kemungkinan akan mempengaruhi orang untuk membelokan pemikirannya ke arah sana. Hemat saya, menyelesaikan persoalan perang tanding di Adonara adalah dengan mengarahkan orang untuk kembali kepada fondasi nilai yang bertumbuh dalam komunitas sosial ‘Atadiken Adonara’, tentang tata nilai yang sudah mentradisi. Kita harus kembali merevitalisasi nilai kehidupan tradisional kita sebagai ‘Atadiken Adonara’, terutama pada nilai-nilai budaya, adat dan spiritualitas sebagai ‘Atadiken Adonara seutuhnya. Misalnya dalam ungkapan ata raen dore raen, moripet koda, matanet di koda, Moem muren deino moon kodham, moem nalan gokano moom kodham, muko tapo ne ake taka, karena ele ne plate-plate, ake isak biat ata ina bine wae buma, dan masih begitu banyak larangan serta pantangan sebagai perwujudan dari nilai yang hidup di tengah-tengah kehiupan ‘Atadiken Adonara’Untuk menjalani fungsi revitalisasi nilai ini, kita mesti membangun infrastruktur semi formal guna mengembangkan pola penyelesaian masalah dengan aturan yang hidup dan berkembangan di tengah masyarakat. Tentang perang tanding, mestinya pernah ada contoh yang patut diguguh, misalnya penyelesaian masalah batas tanah antara desa Lewopao dan desa Lamahelan pada beberapa decade silam. Mereka bersepakat untuk bersumpah, dengan tata ritual sesuai tradisi setempat. Hanya dengan syarat menuang tuak ke tanah atau ‘bau lolon’ saja, orang akan mempertimbangkan berulang kali untuk maju ke arena sumpah. Sebab konsekuensi dari ‘bau lolon’ atau lebih tinggi lagi dengan ‘belo berekan’ adalah menyangkut nyawa manusia juga. Perhatikan baik-baik cerita tentang proses damai sengketa tanah Lewopao – Lamahelan ini. Pasti ada yang menjadi korban karena peristiwa belo brekan atau bau lolon tersebut.

Oleh sebab itu menurut saya, solusi yang ditawarkan Anton Doni adalah sebuah kajian yang masih debatable, dimana akar masalah masih tersisihkan secara serius. Untuk itu, kebiasaan tutu koda marin kirin terhadap persoalan perang tanding di Adonara, mesti memiliki ruang yang serius untuk terus digalakan dari waktu ke waktu. Bagi saya, dengan mengembangkan organisasi semi otonom yakni lembaga adat baik ditingkat desa/lewo, tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten adalah sebuah solusi. Lembaga ini dibiayai oleh pemerintah untuk menjalankan fungsi pemerintahan tradisional antara lain, menciptakan aturan adat, sosialisasi aturan adat, memberikan sanksi terhadap pelanggar aturan adat, menyelesaikan masalah secara adat dan bekerjasama dengan lembaga adat lainya di desa/lewo untuk menetapkan batas ulayat masing-masing desa. Pada ruang informal ini, mereka akan bicara dari hati ke hati, menempatkan kebenaran hakiki di atas kepalanya, mencari kebenaran sejati di relung hatinya, sebab mereka adalah orang-orang pilihan atau delegator yang memiliki kewenangan secara adat untuk mengurai dan menyelesaikan masalah apapun, termasuk perang tanding. Dia akan membawa suara dari bawah, dari kampungnya/lewo untuk disampaikan ketingkat lebih atas pada lembaga adat ini.

Solusi yang ditawarkan di atas, sesungguhnya sedang mengajak ‘Atadiken adonara’ untuk kembali pada jati diri yang sesungguhnya, pada norma dan aturan adat lain yang mengikat. Inilah akar masalah kita saat ini, dimana degradasi nilai kehidupan yang telah ditanam oleh pendahulu kita tercerabut dari akarnya. Jika akarnya tercerabut, maka mudah untuk ditumbangkan. Peristiwa kemanusiaan selalu paralel dengan sikap dan tingkah laku manusia terhadap sesama, alam, leluhur dan juga kepada Tuhan. Pada dimensi ini, kita harus sadar bahwa kita sudah parah masuk dalam cengkraman peradaban modern, yang melumpuhkan pengertian hidup kita sebagai ‘atadiken’ yang berkata, bertindak dan berpikir jernih, jujur, iklas, rendah hati, gotong royong dan saling menghormati. Semua ini adalah nilai fundamental dalam hidup berkomunitas sebagai ‘Atadiken Adonara’. Hormat saya buat kakanda Anton Doni Dihen, pemilik kerendahan hati, kader Adonara yang berintegritas dan selalu menghormati siapa saja. Pada dirimu kutemukan sejuta makna, arti sesungguhnya sebagai ‘Atadiken Adonara’ sejati. Teriring salam, Puin Taan Uin Tou, Gahan Taan Kahan Ehan !

1 komentar:

10.000 PENARI DI PESPARANI NASIONAL II